Pada
waktu di kelas, terjadi diskusi
antara temen-temen
saya. Diskusi ini dimulai
oleh seorang teman, sebut saja Yuda. Yuda melontarkan sebuah pertanyaan dalam diskusi tersebut.
Bagaimana caranya memuat pesan moral dalam sebuah cerita yang ditulis? dalam hal ini cerpen atau novel.
Ada yang menjawab dengan cara menulis quote di dalam tulisan. Ada pula yang menjawab dengan membuat karakter yang kuat dalam tokoh yang dibawakannya –tentunya karakter ini akan membawakan ajaran-ajaran yang memuat pesan moral.
Bagaimana caranya memuat pesan moral dalam sebuah cerita yang ditulis? dalam hal ini cerpen atau novel.
Ada yang menjawab dengan cara menulis quote di dalam tulisan. Ada pula yang menjawab dengan membuat karakter yang kuat dalam tokoh yang dibawakannya –tentunya karakter ini akan membawakan ajaran-ajaran yang memuat pesan moral.
Yuda menjawab dengan cukup sederhana. Bahwa untuk memuat pesan moral
di dalam sebuah cerita tidak harus serumit itu. Cukuplah menjadi orang yang
baik, maka cerita yang dibawakan juga sifatnya akan baik. Tidak mungkin orang
yang baik akan mengajak para pembacanya menuju hal-hal buruk. Kecuali memang
pada awalnya orang tersebut memang orang yang buruk, maka cerita yang dibawakan
juga cerita yang memuat pesan buruk.
Seringkali seorang (calon) penulis cerita
membebani dirinya ‘bagaimana memuat pesan moral dalam cerita yang saya buat?‘
Memuat pesan moral dalam sebuah cerita tidak harus dengan membuat karakter yang seolah-olah sebentar-sebentar berzikir. Bertemu teman ia berzikir. Lepas dari teman satu dan bertemu dengan teman yang lain, ia berzikir lagi. Jalan beberapa puluh meter, merenungi diri, lantas berzikir lagi. Bukan berarti berzikir itu salah. Berzikir adalah perintah agama. Namun, bukan begitu caranya menyajikan cerita yang akan mengajak orang untuk berzikir dalam hidupnya.
Memuat pesan moral dalam sebuah cerita tidak harus dengan membuat karakter yang seolah-olah sebentar-sebentar berzikir. Bertemu teman ia berzikir. Lepas dari teman satu dan bertemu dengan teman yang lain, ia berzikir lagi. Jalan beberapa puluh meter, merenungi diri, lantas berzikir lagi. Bukan berarti berzikir itu salah. Berzikir adalah perintah agama. Namun, bukan begitu caranya menyajikan cerita yang akan mengajak orang untuk berzikir dalam hidupnya.
Irwan, seorang peserta diskusi menambahkan:
“Apa yang membuat sebuah fiksi diingat di pikiran pembaca? Bagi saya bukan
semata pesan, tapi kesan yang ditimbulkan. Pesan implisit cukup menjadi bagian
dari fulm-film “azab anak durhaka” jangan mengkontaminasi tulisan dengan beban
terlalu berat. Edgar Alan Poe misalnya, tidak pernah menuliskan pesan moral
secara langsung. Kesan-kesan gelap dan dramatis yang ia hadirkan di cerpen yang
ia buat membuat orang-orang mengingat dan susah melupakan tulisannya.”
Untuk memuat suatu pesan moral di dalam suatu
cerpen atau novel, terlalu singkat jika penokohan hanya dibangun dalam beberapa
paragraf. Penokohan yang mendidik pembaca dengan sebuah pesan moral harus
dimuat di seluruh tulisan, dari awal hingga akhir. Dan bukan hanya dengan
dialog langsung atau kejadian yang dibuat penulis, tokoh pun bisa dibangun dari
tatapan mata lawan bicaranya. Dari tanda baca dialog, pakai titik atau tanda
seru. Gaya si tokoh dalam berbicara, sampai cara tokoh lain menanggapi
dialognya. Jadi tidak melulu dengan narasi dan deskripsi. Di dalam “Wong
Asu”nya Seno Gumira Ajidarma, bahkan tidak ada narasi dan deskripsi, hanya
dialog dari awal hingga akhir. Namun karakter yang dibangun oleh SGA begitu
kuat dari awal hingga akhir. Nada bicara, tanda baca, dan juga cara tokoh lain
dalam menanggapi.
Irwan mengaku, ia lebih menyukai kesan
daripada pesan. Tugas penulis lah bagaimana cara membuat impresi dalam karya
untuk menyentuh pengalaman bersama dengan pembaca.
Pesan moral di dalam sebuah cerita memang
penting. Namun janganlah itu menjadi beban pikiran bagi si penulis cerita.
Jadilah orang baik, menulislah dengan baik, niscaya pesan moralnya pun akan
terbangun sebagai pesan yang baik.